Sabtu, Juni 06, 2009

Mengatasi Penyakit Dalih


Sembilan puluh sembilan persen kegagalan datang dari orang yang punya kebiasaan suka membuat alasan, begitu kata George Washington Carver. Daripada mencari jalan keluar, mereka memilih untuk membuat 1001 dalih mengenai kegagalan mereka. Alhasil, kesempatan belajarpun terlewatkan begitu saja.
Dalam buku The Magic of Thinking Big, David J. Schwartz menjelaskan mengenai penyakit pikiran yang mematikan alias penyakit dalih (excuisitis). Orang-orang gagal senantiasa berdalih mengenai kegagalan mereka. Penyakit dalih tersebut biasanya muncul 4 bentuk, yaitu: dalih kesehatan, dalih inteligensi, dalih usia dan dalih nasib.
Dalih kesehatan biasanya ditandai dengan ucapan, "Kondisi fisik saya tidak sempurna", "Saya tidak enak badan", "Jantung saya lemah", dan sejenisnya. Orang sukses tidak pernah menganggap cacatnya itu sebagai hambatan. Saya punya sahabat dekat yang menderita polio namun dikenal sebagai dokter spesialis ginjal sukses dan murah hati. Sejumlah besar tokoh-tokoh dunia bahkan punya cacat fisik. Presiden Amerika ke-32 Franklin Delano Roosevelt menderita polio, Shakespeare lumpuh, Beethoven tuli, Napoleon Nonaparte memiliki postur tubuh yang sangat pendek. Dalih inteligensi diitandai dengan ucapan, "Saya kan tidak pintar", "Saya kan bukan rangking teratas", "Dia lebih pandai", dan sejenisnya. Inilah dalih yang paling umum ditemukan. Tanpa bermaksud mengecilkan arti sekolah, saya ingin mengatakan kepada Anda bahwa tidak perlu jadi profesor agar Anda bisa sukses. Selanjutnya, dalih usia yang ditandai dengan ucapan, "Saya terlalu tua", "Saya masih terlalu muda", "Biarkan yang lebih tua yang duluan", dan sejenisnya. Padahal tidak ada batasan usia dalam meraih sukses. Kolonel Sanders memulai usahanya di usia 65 tahun.
Berikutnya adalah dalih nasib, misalnya dengan mengatakan , "Aduh, nasib saya memang selalu jelek", "Itu sudah nasibku", "Itu memang takdir". Memang amat mudah untuk selalu menyalahkan nasib. Padahal nasib kita ditentukan oleh kita sendiri. Tuhan telah memberikan hidup dengan sejumlah pilihan.
Baru-baru ini, hati saya tertegun ketika menyaksikan siaran televisi tentang seorang anak kecil yang ahli memainkan drum dalam kebaktian rutin setiap minggunya pada sebuah gereja di Thailand. Titi, nama bocah yang baru berusia 3 tahun itu memang layak dijuluki "drummer cilik". Bertubuh mungil dengan 2 jari yang tidak sempurna, Titi yang masih suka nge-dot ini menunjukkan kebolehannya menabuh drum. Tak berlebihan jika banyak yang menyarankan agar ia dimasukkan dalam Guiness Book of Record.
Prestasi yang diraih Titi sungguh menggugah kesadaran saya. Lihatlah betapa banyaknya orang yang memilih berdiam diri daripada melakukan apa yang bisa mereka perbuat. Padahal apapun yang layak diraih layak diupayakan dengan seluruh kemampuan yang kita miliki. Sayangnya, potensi diri ini kerap hanya terkubur karena kebiasan kita membuat dalih jika apa yang kita kerjakan tidak berjalan sesuai harapan kita atau hasilnya tidak segera kelihatan. Gaya hidup modern yang serba instant secara tidak langsung membuat kita sering mengharapkan hasil yang instant pula. Kita kepengen sekali makan durian tanpa mau menanam, menyiram, memupuki dan merawat pohonnya.
Saya sendiri sempat terkejut membaca cerita tentang ilmuwan besar seperti Albert Einstein yang pernah diusir dari sekolah karena dianggap lamban. Ia bahkan mendapat nilai buruk dalam pelajaran bahasa Yunani karena ingatannya yang lemah. "Tak peduli apa pun yang kamu lakukan, kamu takkan dapat melakukan apa-apa," kata gurunya. Guru lainnya menimpali, "Kamu Cuma merusak kelas saya!". Bahkan kepala sekolahnya mengatakan kalau Einstein tidak akan sukses dalam apa pun yang dikerjakannya. Saya juga teringat kepada Thomas Alva Edison yang hanya bersekolah beberapa bulan namun tercatat sebagai pencipta terbesar sepanjang jaman dengan lebih dari 1.000 hak paten. "Saya mempunyai banyak ide tapi hanya sedikit waktu," ujarnya. Edison gagal di sekolah. Gurunya merasa Edison tidak punya minat belajar, pemimpi dan mudah sekali terpecah konsentrasinya. Yang sungguh membuat saya terharu adalah sikap Ibu Edison terhadap putranya. Ia terus mengajari Edison di rumah dan setiap kali Edison gagal, ibunya member harapan dan mendorongnya untuk terus berusaha.
Kalau orang gagal senantiasa berkata "itu tidak mungkin berhasil" maka orang sukses lebih suka berkata "mengapa tidak mencobanya dulu?". Daripada membuat alasan, orang sukses memilih untuk mencari cara mewujudkan impian mereka. Daripada berdiam diri dan menunggu datangnya kesempatan, mereka memilih pergi keluar dan menemukan kesempatan itu. Bahkan mereka mampu menciptakan kesempatan dalam kesempitan.
E.M. Gray menegaskan, orang-orang sukses mempunyai kebiasaan melakukan hal-hal yang tidak suka dilakukan orang gagal. Jika saat ini Anda masih suka membuat dalih, buatlah komitmen untuk mengubah kebiasaan itu. Jangan biarkan potensi diri Anda dibelenggu oleh dalih-dalih Anda. Ingat selalu nasihat Theodore Roosevelt, "Lakukan apa yang Anda bisa, dengan apa yang Anda miliki, di mana pun Anda berada."
Sebagai akhir, ijinkanlah saya membagikan kepada Anda sebuah syair dari Afrika berjudul Perlombaan Saat Matahari Terbit. Setiap pagi di Afrika, seekor rusa bangun. Ia tahu bahwa ia harus berlari lebih cepat daripada singa tercepat. Jika tidak, ia akan terbunuh. Setiap pagi seekor singa bangun, ia tahu bahwa ia harus berlari lebih cepat daripada rusa terlamban. Jika tidak, ia akan mati kelaparan. Tidak penting apakah Anda adalah sang rusa atau sang singa. Saat matahari terbit, Anda sebaiknya mulai berlari. ***
Sumber: Mengatasi Penyakit Dalih oleh Paulus Winarto. Paulus Winarto adalah pemegang dua Rekor Indonesia dari MURI (Museum Rekor Indonesia), yakni sebagai pembicara seminar pertama yang berbicara dalam seminar di angkasa dan penulis buku yang pertama kali bukunya diluncurkan di angkasa.

Selasa, Januari 13, 2009

Menjadi Manusia Baru Di Tahun Baru

The party is over. Pesta tahun baru sudah selesai. Pertanyaannya sekarang adalah; setelah semua kemeriahan itu, apa yang tersisa untuk menjadi bekal kita menjalani hari demi hari ditahun yang baru ini? Dan ngomong-ngomong, adakah hal esensial baru yang sungguh-sungguh kita miliki sehingga kita layak mengelu-elukan tahun baru itu? Jika kita masih menjadi pribadi yang tidak ada bedanya dengan tahun lalu, maka perayaan tahun baru tidak lebih dari sekedar euforia belaka. Sebab, hanya mereka yang berhasil menjadi manusia baru saja yang patut mengklaim kemeriahan tahun baru itu. Menjadi manusia barukah kita, atau sekedar terhanyut oleh kemeriahan semu belaka?

Dikampung saya dulu, ular merupakan binatang yang mudah ditemui. Tentu ada ular yang berbisa. Ada juga yang tidak berbisa. Ada ular pohon. Ular tanah. Dan juga ular air. Tetapi, dari perbedaan- perbedaan yang dimiliki oleh para ular itu, mereka memiliki satu kesamaan. Anda tahu persamaan diantara mereka itu? Tepat sekali, mereka para ular mengganti kulitnya setiap periode waktu tertentu. Dan disaat menjelang pergantian kulit itu, para ular pergi ketempat-tempat sunyi. Lalu disana mereka merenung, meninggalkan segala kenikmatan. Mereka tidak melakukan aktivitas lain selain berdiam diri, bagaikan para pertapa yang sedang bermeditasi. Ketika mereka selesai bermeditasi itulah bagian epidermis dari kulit-kulitnya terkelupas, sedangkan bagian dermis didalam tubuhnya naik kepermukaan menjadi epidermis yang baru. Mengapa ular mengganti kulit? Ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa salah satu fungsi pergantian kulit bagi ular adalah demi mengakomodasi kebutuhan tubuhnya untuk tumbuh membesar. Jadi, ular yang berganti kulit itu tengah tumbuh untuk menjadi ular yang lebih besar, dan lebih matang. Ini berarti bahwa ular 'merencanakan' sesuatu untuk proses pertumbuhannya selama satu periode kedepan hingga tiba saatnya bagi dia untuk kembali berganti kulit.

Pertanda apakah gerangan ini bagi kita? Ini adalah isyarat yang menjelaskan bahwa pergantian tahun tiada lain adalah saat dimana kita selayaknya merenung dan merencanakan sesuatu untuk proses pertumbuhan selama satu periode kedepan hingga tiba saatnya bagi kita untuk kembali berganti tahun.

Ular tidak sekedar berganti kulit. Melainkan berganti kapasitas diri. Sebab, setiap periode pergantian kulit merupakan tanda atas 'kenaikan tingkat' bagi dirinya. Oleh karena itu, setiap ular yang berganti kulit, pastilah menapaki tingkatan hidup yang lebih tinggi dari sebelumnya. Apakah kita para manusia juga demikian? Dengan kata lain; adakah setiap pergantian tahun yang selalu kita elu-elukan itu menjadi tanda atas 'kenaikan tingkat' bagi kita?

Salah satu bukti dari kenaikan tingkat terlihat dari seberapa besar bobot 'hal baru' yang kita lakukan. Jika kita mengaku naik tingkat, namun semua yang kita lakukan tidak ada bedanya dengan apa yang dilakukan tahun lalu; maka kita patut mempertanyakan klaim itu. Tidak ada kenaikan tingkat, tanpa sikap yang baru. Jadi, tahun baru tidak berarti apa-apa bagi kita selain terbuangnya nilai waktu. Lalu, apa yang kita rayakan waktu itu? Jika ditahun yang baru ini, perilaku kita, sikap dan tindak tanduk kita tidak lebih baik dibandingkan tahun lalu; maka itu berarti bahwa kita telah keliru memaknai tahun baru.

Seperti sang ular yang berganti kulit demi pertumbuhan dirinya, maka seyogyanya tahun baru menjadi saat dimana kita memperbaharui segenap tekad dan komitmen penuh untuk menjadi manusia baru yang labih baik. Mengapa mesti begitu? Karena kita selalu meminta agar Tuhan menjadikan tahun ini lebih baik dari tahun lalu. Namun, jika kita tidak mengubah apapun dari kehidupan kita; bagaimana mungkin kita mendapatkan hasil yang berbeda?

Memang, kadang-kadang kita juga meniru ular merencanakan sesuatu untuk dicapai ditahun yang baru ini. Kemudian kita menyebutnya sebagai resolusi. Keren, bukan?. Namun, meskipun setiap tahun kita
membuat resolusi, tetapi kita tidak pernah berani mengevaluasi seberapa berhasil kita mewujudkan resolusi-resolusi itu? Sebaliknya, kita sering sok bertoleransi dengan kenyataan yang jauh melenceng dari resolusi yang kita buat berkali-kali. Ular tidak demikian. Sebab, sesaat setelah dia membuat komitmen untuk berganti kulit; dia secara sungguh-sungguh menjalani hidupnya. Dia menanggalkan dan meninggalkan kulitnya yang lama. Dan menjelma menjadi ular baru.

Sungguh, seolah para ular hendak memberi contoh pada kita untuk menanggalkan 'baju-baju' lama kita. Yaitu, baju dalam bentuk perilaku-perilaku lama kita yang tidak bisa menunjang proses pertumbuhan diri kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Dengan kata lain, kita diajak sang ular untuk menanggalkan setiap elemen buruk didalam diri kita; agar kita bisa menjadi manusia baru, ditahun yang baru ini.

Bisakah kita?

Catatan Kaki:
Ada banyak perilaku buruk menempel didalam diri kita. Jika kita berhasil menanggalkan satu hal buruk saja setiap hari, maka kita bisa
menjadi pribadi yang lebih baik dari hari kehari.
 

Template by NdyTeeN